Tampilkan postingan dengan label Google. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Google. Tampilkan semua postingan

Sumber gambar: https://cdns.klimg.com/dream.co.id

Sangat menyakitkan, ketika kamu didiamin tanpa ada kejelasan. Katanya ia tak apa-apa, namun tingkahnya jelas nampak berbeda.


Jika memang ada yang mesti diluruskan, luruskanlah, bicarakan dengan baik-baik apa masalahnya? Itu kehendak kita sebagai seorang perindu. Tapi ya, beginilah sudah lumrahnya menjadi seorang yang mencintai, bukan seorang yang dicintai. Kita akan rutin merasakan yang namanya nyesek dada itu datang membelai. Dada tak akan merasa nyaman jika rasa itu waktunya telah sampai.


Biasanya kalau sudah seperti ini keadaannya, kerjaanmu pasti acak-acakan. Pikiranmu terbagi tak ngaruan. Mau tidur saja susah, apa lagi harus melakukan hal yang mengundang lelah, aku yakin, kalimat terakhir yang keluar dari mulutmu adalah "menyerah".


Tak ada lagi sifat yang hebat yang bisa kamu lakukan selain bersabar. Jika kamu memang sangat sayang sama dia, tunggulah sampai permasalahannya mulai nampak kasat mata. Jangan memaksa! Sebab, dengan paksaan ia juga akan terpaksa mengatakannya. Ia mungkin tak akan sempurna dalam pengakuan, ia hanya mengatakan hal-hal tertentu saja. Hal itu karena ia merasa kesal sudah dipaksa.


Bersabarlah. Yakinlah besok lusa tak akan terjadi apa-apa. Ingatlah selalu, terkadang apa yang kita cemaskan itulah kemungkinan besar yang akan terjadi. Semua akan baik-baik saja. Terus jaga ketulusan itu. Kamu tahu, sekarang sulit sekali mencari yang namanya "tulus". Maka bersyukurlah jika kamu memilikinya.

Parah banget komentar pertama mereka mengenai tulisan gue di blog yang baru beberapa hari ini gue kelola.
Katanya, "Eh lo! Tulisan lo, kok, ngenekin banget. Rasa mau muntah air comberan gue." 
"Makanya kalau Lo nggak mau muntah, jangan minum air comberan. Gue, kan udah bilangin Elo berkali-kali, air comberan itu nggak sehat, Otoy. Sehatan air ludah gue kali dari itu." Kawan di sebelahnya menimpali. Namanya Sumbu. Gue cuman diem merunduk. "Ia nih, kayaknya Lo harus lebih banyak belajar, deh, nulis yang bener itu kayak gimana, Mol! Agar bisa seperti kami-kami ini." Lanjut Sumbu mengomentari tulisan gue. Gue sedih sekali mendengar pernyataan tadi. Coba saja bayangkan, gue nulis sampe tengah malem, sama nyamuk pun terpaksa gue berteman, rela gue diisapin darahnya hanya karena pengin fokus sama tulisan. Tapi apa coba yang gue dapatin? Hanya cemohan!

"Emangnya kalian seperti apa, sih? Kalian udah banyak nerbitin buku, ya?" tanya gue penasaran. 
"Ah... nggak gitu juga, sih. Tapi kami banyak ngasilin karya. Salah satunya, membuat orang patah semangat dalam pekerjaan. Kami ini jujur orangnya, kalau memang menurut kami itu jelek, ya jelek. Nggak bisa ditawar-tawar." Itu, sih, menurut gue bukan karya namanya. 
"Makasih, ya, Temen-temen? Gue balik dulu." Gue izin pamit pulang dari kampus.

Setelah keluar dari pintu kelas semester 4, gue nggak sengaja ngeliat bidadari juga keluar dari kelasnya, yang berada di seberang kelas gue. Terkadang gue suka bingung, kok, bidadari kayak dia itu kenapa nggak kuliah di surga aja, sih? Apa dia membuntuti gue, ya, sampai-sampai juga kuliah di sini? "Jawaban pertama...," Balun menanggapi pertanyaan yang sering gue utaraka ke dia beberapa waktu yang lalu, "... nggak mungkin ada yang suka sama lo, Mol! Kedua, Lo kebanyakan ngayal. Dia itu manusia, sama kayak kita. Lo aja yang berlebihan. Karena Lo suka, kan ama dia? Jangan mimpi, Mol! Dia itu orangnya cerdas, nggak bego kayak kita ini." Gue langsung memicingkan mata ke Arah Balun. "LO AJA KALI! NGGAK USAH BAWA-BAWAAN BEGO KE GUE." Balun nyegir denger suara gue yang sedikit membentak. "Yah, lagian lo nggak pantes-pantesnya juga, kok, sama dia. Dia itu hafalannya udah banyak. Lah, Lo? Hafalan Lo amblas di tanah yang berlumpur. Kalo usaha sendiri, Lo nggak bakal bisa keluar dari lumpur itu." Lagi-lagi gue nunduk. Benar kata Balun. Gue nggak pantes sama bidadari itu. Hafalan quran, gue cuman sedikit. Beda sama dia yang udah masuk ke jus kepala 2.
Lagi-lagi benar kata Balun waktu itu, bahwa yang bukan siapa-siapa memang sulit mendapatkan apa-apa. Termasuk masalah cinta.

Gue palingkan pandangan ke langit agar nggak ngeliat, tuh, sama bidadari. Tapi emang nasib gue kali, ya, kurang beruntung, gue malah terpeleset jatuh keinjak sabun lantai yang baru ditumpahin petugas kebersihan kampus. 
Saat gue terjatuh, semua ngetertawain gue. Apa gue malu? Ngapain gue harus malu? Kan, gue udah biasa di tertawain banyak orang di kampus ini.
Gue bangkit lagi, terus pulang dengan hati yang pilu.

***  
"Kayaknya gue pengen berhenti, deh, nulis di Blog."  Gue rebahan di kasur, sambil mandangin langit-langit kamar gue. "Nggak ada hasilnya juga, kan?" Si Balun yang baru datang sehabis maghrib tadi, sedang sibuk mainin laptop gue. Dan satu lagi temen gue yang pintar, tapi nggak satu kelas. Rumahnya nggak terlalu jauh dari rumah gue, namanya Awey. Cowok berkacamata ukuran sedang itu sedang asyik membaca novel.  "Lagian, semua orang di kampus tau, kok, kalo tulisan gue itu jelek." Gue curhat sama mereka tentang komentar pertama dari tulisan gue yang amburadul itu. Gue sadar, tulisan gue nggak ada apanya di banding tulisan anak TK. Gitu kata Otoy dan Sumbu. Dan, semua orang tahu, kok. Termasuk dosen-dosen di kampus gue. Mereka sering menertawakan makalah yang gue buat. Kata mereka "Kamu ini bikin makalah, atau bikin cerita? Kok, dramatis? Tapi kayaknya masih kuraaang .... pokonya masih banyak kurang" Itu karena saking pengen cepat-cepat, akhirnya makalah yang mesti gue kasih, malah ketuker sama naskah cerita gue. Nggak lucu banget, kan?
Nah, mungkin jika gue berhenti nulis, bakal bisa dipastikan, nggak ada lagi yang hina-hinaan.

"Eh... eh... eh... jangan gitu donk! Kok cepet betul kalahnya? Kayak musuh Ultramen aja. Baru satu episode, udah kalah nggak bersisa. Cemen banget, sih, lo?" samber Balun yan masih asyik main game di meja belajar gue. 
Gue mendengus kesal, lalu berkata, "Lebih cemenan Elo, kali!"

"Cemen apaan? Ngaco Lo!" jawab Balun.
"Lo ngaco! Main game, tapi game make up-in perempuan. Lo tu cowok apaan sih?" Gue nunjuk ke arah layar laptop. Nggak lama-lama lagi, Balun langsung nutup laptop gue. Mukanya memerah padam.

***

"Menurut gue, nih, ya... tulisan lo bagus, kok. Mungkin mereka aja yang syirik kali. Kayak nggak tahu perangainya Otoy si gigi mancung, dan Sumbu si rambut kribo itu aja." Wah, senyum gue langsung ngambang ketika mendengar kata-kata Away yang biasanya pendiam, namun asyik. Sedikit rese juga, sih. 
"Lo orang pertama berkata kaya gitu, Way. Makasih ya?" Gue peluk, tuh, orangnya erat-erat. Tapi ada hal yang membuat gue tensi secara tiba-tiba. Gue dengar Away bilang 'Gue becanda aja, kok, tentang tulisanmu tadi. Padahal gue juga enek bacanya'. Itu kata dia saat berada dalam pelukan gue. Mendengar kata-kata itu, langsung gue putar badannya, kaca matanya terlepas begitu saja, lalu gue banting, dan kunci badannya persis kayak adegan Smack Down. Si Balun malah kegirangan memerankan karakter wasit yang biasanya mengenakan kemeja putih belang hitam, dan celana hitam polos. "Wan, Tu, Tsrii," Bagian Balun ngucapin Tri, ludahnya muncrat mengenai wajah Away yang ada di bawah badan gue. Away sontak mendengus sebal. "Gila! Bau banget ludah, lo? Berapa hari, sih, lo nggak sikat gigi, Lun?"
"Ting-ting-ting. Pemenangnya The Mol." Setelah bicara gitu, Balun lanjut bertanya, "Lo nanya apa tadi, Way?"
"Lo ud ...." Kata-kata Away terpotong.
"Nggak usah di lanjut, gue udah bisa baca hati lo kalo Lo mau nanya apa. Baiklah gue jawab." Away makin sebal ngeliat Balun yang sok-sokan jadi kayak paranormal yang bisa nebak hati orang-orang. Perlahan  badan gue dan Away terlepas dari adegan pelukan.
"Gue sikat gigi ... sama seperti biasa orang-orang ngelakuinnya. 1x3 sehari." Gue dan Away saling pandang. Lalu kembali menatap Balun. "KAMI NGGAK GITU, LUN."

***

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Gue, dan dua temen gue ini masih sibuk sama kerjaannya masing-masing. Balun... main game, Away... ngelanjutin bacaannya, sedangkan gue... masih mikirim mimpi-mimpi yang nggak satupun sudi mendekati gue saat ini.
"Sempurna banget, ya, si Mira itu?" Gue memecah keheningan.
"Yah, ngayal lagi teman yang satu, nih! Sadar, Mol Lu to siapa?" ujar Balun.
"Gue... gue bukan siapa-siapa." Itu kata gue.
"Nah, itulah masalah, Lo!" Kali ini Away yang bicara. "Kalo Lo pengin dia ngelirik Lo, Lo harus jadi sesuatu."
"Betul itu! Lo ingat nggak kata-kata yang kemaren kita tonton filmnya?" timpal, dan tanya Balun ke gue. Gue ngangguk-ngagguk aja.
"Yang bukan siapa-siapa, emang sulit dapet apa-apa. Lu harus jadi sesuatu, Mol. Biar kita-kita ini nggak jomblo terus." Benar banget kata Balun. Gue mesti jadi sesuatu biar dapet respons dari bidadari itu. Penulis mungkin? Ah, Itu adalah cita-cita gue sejak dulu. Tapi... 
"Gue tahu, Lo pengin jadi penulis, kan? Nah, kalo gitu Lo sering-sering, deh, latihan dan baca buku. Pasti membantu." Itu saran Away.
"Tapi kemampuan gue terbatas. Biarpun gue banyak membaca, tetep aja nggak bisa buat tulisan yang menarik. Kayaknya cuman bisa ngiimpi aja, deh gue."
"Nah, itulah dulu kenapa gue nyaranin Lo nulis di Blog. Itu buat latihan, Lo, Dodol!" kata Bulan lagi. Sekarang kami sama-sama baringan di kasur gue.
"Tapi tetep aja gue nggak bisa kayak penulis-penulis sukses itu, kan?" Gue nanya lagi. Gue bingung, entah kapan pembicaraan ini selesai. Gue sampai ngantuk, nih, nulisnya.
"Siapa bilang, nggak bisa? Nah loh, ketauan nih kalo Lo kurang baca informasi. Lo tau nggak J.K Rowling?" Away balik nanya.
"Penulis novel Harry Potter itu, kan?" jawab gue.
"Tepat. J.K Rowling sebelum terkenal juga pernah ngalamin kegagalan. Bayangkan, 14 kali penolakan dari pihak penerbit, tak sedikitpun membuat nyalinya ciut." Gue cuman ber "Waaw".
"Karena semangat dan keyakin yang kuat, akhirnya buku-buku yang ia karang menjadi best seller. Seharusnya Lo juga gitu kalo pengen sukses. Kayak gue, gue lagi pengin serius jadi motivator yang pendiam, dan penghafal Quran yang limited edition" tambah cowok berkaca mata itu. 
Beruntung sekali gue kayaknya bisa kenal mereka berdua.
"Tapi gue malu ditertawain mulu tentang mimpi gue ini."
"Lah, Lo sendiri yang bilang dulu, kalo Lu udah biasa di tertawakan orang-orang? Ngapain harus malu? Hey... anggap saja semua yang mengkritik, menghina, ataupun yang mencemoh itu adalah bahan bakar menuju kesuksesan." Lagi-lagi bicara Away tentang motivasi teramat menggebu-gebu.
"Terus, gue harus gimana ngadepinnya?" Gue malam ini kayaknya menjadi penanya yang baik. Balun sebagai pendengar yang baik, dan Away selaku pembicara ulung, yang mulutnya dari tadi nggak berhenti-berhenti.
"Gampang! Elo cuman perlu bilang kepada mereka yang nggak suka sama lo kayak gini, 'lebih baik jadi lilin dari pada mengutuk kegelapan'. Terserah orang itu ngerti atau tidak. Gue yakin, setelah itu ia bakal cari di google arti kata-kata tersebut."

"Wiiiih, keren banget Lu, Way! Sumpah!" Gitu komentar gue dan Balun. Nggak nyangka aja si Away bisa berkata-kata kayak gitu. Tapi baguslah. gue seneng dengarnya. Ternyata gue punya temen motivator. Nggak nyangka. Buset, dah.

"Astaga! Gue baru ingat! Gue malam ini ada mitting di markas grup maulid gue. Katanya ada perlombaan. Gue berangkat dulu, ya? Kalian silakan tidur duluan!" Gue berangkat ke desa Palampitan, buat nemuin teman-teman gue yang lain. 
Dari percakapan gue di atas, gue ngerasa ada semangat lagi buat ngelanjutin tulisan gue di blog ini. Gue nggak perlu takut. Setidaknya, menulis, kan, adalah hobi gue? Sedangkan menjadi penulis adalah mimpi gue. Mimpi itu, boleh terwujud, boleh juga tidak. Tapi, yang lebih penting, dan tak ternilai harganya di mata kita ialah, bagaimana usaha, atau jerih payah kita buat menjemput impian tersebut. Terima kasih, kawan.
"Kriiiiiiiiiiiiing-klengkiiing," gitu bunyi nada panggilan HP gue. Unik, ya? Kayak ada nama buah di deringnya. Apa mungkin karena HP-nya, ya, yang udah mulai masuk senja?

"Ia, ada apa? Gue masih ngant ...," Ngomong gue belum selesai, eh suara di seberang sana udah nyamber.
"Maula! Kamu sudah shalat subuh belum?" Gue tercekat mendengar suara itu. Itu suara Nyokap. Nada-nada suaranya yang terbiasa tinggi, membuatku mengenalnya jika saja suara itu berbunyi ribuan kilometer jauhnya dari tempat gue berada. Jauhkan? Ada nggak suara orang-orang yang nyaringnya persis sama kayak gitu? Nggak ada pasti. Siapa bilang ada? Lah, maksud gue itu, biar pun jarak gue sama Nyokap terpisah sekitar ribuan kilometer, gue masih bisa jelas denger suaranya lewat telpon. Gitu.

"A.. anu, Ma." Mata gue tiba-tiba ngenjreng. Gue sibuk nyari-nyari jam buat mastiin ini udah jam berapa?
Buseet dah! Udah deket jam 6 pagi. Gue molor lagi bangun paginya. Ah, ini pasti karena gue sibuk ngeblog malam tadi hampir jam 9 malam. Cepat betul gue tidurnya, ya?
"Ha ... halo, Ma? Oya, Aku di rumah ditemenin sama Bi Inur!" Nah, ini trik buat nggak jawab pertanyaan lewat telepon genggam. Trik ini amat jitu digunakan bagi remaja ingusan kayak gue. Caranya, gue cuman usaha buat nyalahin jaringan. Seperti, jaringan putus-putus, lah, atau suaranya kayak robot, lah? Padahal itu hanya asal-asalan gue, biar point yang harus kejawab terlupakan gitu aja. Dan itu terbukti manjur pagi ini. Nyokap gue udah lupa ama pertanyaan pertamanya.
Jika saja tadi gue jawab 'belum shalat', gue pasti mati dengan cara paksa diseret masuk ke dalam perut Nyokap lagi.
Lalu, kenapa tadi gue nggak mau jawab "Udah, Ma. aku udah shalat"? Kan, gampang aja bohong? Wong kita terpisahkan jarak antar provinsi? Nyokap nggak bakalan tau gue lagi ngapain di sini, termasuk urusan shalat.
Nehi ... nehi ... nehi.
Gue orangya nggak gitu. Gue mah orangnya jujur banget. Nggak berani bohong sama Nyokap, bokap ... dan itu aja, kok. Kalo yang lain, sedikit, ada kali, ya?

"Kapan Bi Inur datang?" Itu pertanyaan Nyokap selanjutnya. Syukurlah Nyokap udah lupa.
"Siang kemaren, Ma!" jawab gue yang udah turun dari ranjang, sambil ngorek-ngorek telinga gue yang mulai gatal.

"Jangan lupa teratur makan, ya, La?" Nyokap manggil gue dengan panggilan "La". Sedikit berbau kecewek-cewekan, sih. Tapi gue suka, kok! Kata "La" bisa saja, kan gue tambahin akhirannya "Mana"? Menjadi "Lasmana". Kalo udah gitu, nama gue kayak di lagu Melayu, deh, "Lasmana raja di laut ... "

"Iya, Ma! Aku usahain makan. Makan batu sekalian!" Saking semangatnya gue sampe bilang kayak gitu. Udah satu minggu rasanya nggak ada kata-kata yang kayak barusan. Senangnya. Gue berasa ada semangat baru lagi , deh, setelah satu mingguan ini ngerasain hati yang kosong, kecut, dan lompong. 
Nggak ada keceriaan, nggak ada kegembiraan, nggak ada keseriusan, nggak ada kemampuan buat ngasilin sesuatu, barang satu hal pun yang bikin diri bangga, karena dapat nyelesain sesuatu tersebut tepat pada waktunya. Mungkin, setidaknya gue saat ini tahu, penyebab dari kekosongan ini ialah, karena kesalahan gue yang ngelupakan 'sesuatu'. Sesuatu, yang mestinya tidak boleh ternapikan meski secuil dari hati gue. Yaitu Nyokap gue yang baik itu. Gue jadi malu. Seharusnya gue yang nelpon, lalu nanya 'udah makan atau belom?', 'Mama sehatkan di sana?', atau 'Kapan ngawinin Maula?' Ups, kelepasan.
Yah, gimna lagi? ini semua karena keadaan financial gue yang pas-pasan. Duit yang dikasih Nyokap sebelum berangkat udah hampir habis karena gue gunain ke mana-mana, seperti beli tusuk telinga, tusuk gigi, dan tusuk-tusukan lainnya. Boros banget, ya, gue? Sampe Apple 6 aja gue beli dalam minggu ini. Biasanya sih mahal tuh yang kaya gituan. Teman-teman gue banyak ngoleksi yang kayak gitu di rumah masing-masing, cuman gue aja yang belum punya koleksi kayak mereka. Yah, namanya juga nggak punya uang. Terpaksa nunggu sampe rejekinya datang.
Nah, ketika udah punya fulus, gue langsung ke store-nya tuh. Rame banget kemaren itu. Katanya ada barang baru infor dari luar daerah. Pasti bagus-bagus banget kualitasnya.
Gue tanya sama om penjualnya, 'Ada yang baru nggak, Om?"
"Banyak, kok, Dik! Di pilih aja. Kita hari ini ada diskon, di obral pula!" jawab si Om penjual. Gue nga-nga, sampe akhirnya lalat masuk ke mulut gue. Gilaa. Barang bening kayak gini kok di obral?
"Nah, kalau gitu aku beli yang 5 di bagian sana itu ya, Om? " Gue nunjuk-nunjuk Apple yang bakal gue beli.
"Cuman 5, ya, Dik? Nggak mau 6?" Cuman 5 katanya? Astaga, nggak tau apa orang ini gimana perjuangan gue dapat duit itu seperti apa. Gue udah susah payah nangis, dengan 2 ember air mata di hadapan Nyokap.
"Ini aja dulu, Om. Berapa harganya? Pake garansi, kan?"
"Untuk saat ini, nggak ada garansi, Dik. Harganya biar Om kasih sama kamu 10rb $ saja."
"Baiklah ini. Dibeli ya, Om semuanya."


Sampai ke rumah, langsung gue iris-iris, tuh, Apple yang 6 tadi pakai pisau. Enak juga ternyata rasanya. Cuman modal uang 10rb perak udah punya apple enam buah. Warnanya merah-merah lagi, plus tadi di kasih satu yang warna ijo sebelum gue beranjak pulang dari pasar buah tersebut. 
Balik ke kisah Nyokap.


"Mama, kapan pulangnya. Maula ... udah ...," gue diem, nggak lanjutin bicara gue. Gue gengsi kalau harus berkata "Kangen" sama Nyokap. Padahal emang gue bener-bener kangen, lho sebenarnya. Tapi gue malu mengutarakan hal itu.
"Udah apa, La?" tanya Nyokap.
"Udah mau pipis, nih, Ma. Matiin dulu, ya teleponnya? Aku mau ke WC dulu."

Tuuut... Tuuut.... Telepon gue terputus. Gue langsung bergegas ke WC, lalu ambil air wudhu buat shalat subuh. Waktunya udah mepet. Gue harus cepet.

Pas waktu duduk tahiat akhir dalam shalat, entah kenapa air mata gue bercucuran begitu saja. Ada sesuatu, deh, yang mengena pada perasaan gue. Mungkin teringat betapa berdosanya gue selama ini, karena nggak terlalu perhatian sama Nyokap. Tapi entah kenapa juga, saat itu gue ngerasa ada yang lebih menyakitkan selain mengingat kesalahan demi kesalahan. Puncaknya ... sehabis gue salam, gue dapetin paku picik melekat di pantat gue. Sontak gue teriak sekencang-kencangnya kayak di film-film tom & Jerry.


Namun terlepas dari itu semua. Aku tak lupa berdoa kepada Tuhan, agar Ia selalu menyayangi Nyokap gue sebagaimana Nyokap nyayangin gue selagi gue kecil dulu. Karena bagi gue, Nyokap ialah pahlawan yang amat berani menghadapi berbagai tantangan kematian demi keiginannya melahirkan gue, dan kakak-kakak gue.


Ma, Aku cuman mau bilang, tapi nggak secara langsung. Aku cuman bisa nuliskan kata-katanya di catatan aku, bahwa aku sayang banget sama Mama. Pengin banget memebahagiain Mama, Pengin, deh, buat Mama tersenyum atau tertawa karena tingkah Maula. Engkau itu Pahlawan tanpa tanda jasa, Ma. Nah, hari ini tanggal 21 april, kan? aku mau ngucapin selamat hari Kartini. Kalau Bu Kartini adalah Putri Indonesia, Mamah, lebih dari itu. Karena Mama adalah putri sekaligus pahlawan yang menyelamatkan akhiratku. Tanpa Ridha-mu, aku nggak bakal diridhoi Tuhan-ku.
I Luph u Mama.


4/21/2015